Jumat, 16 Juni 2017

Jarum jam saling susul mengitari 12 angka di sekelilingnya. Membenamkan matahari. Mensenjakan langit. Memanggil burung-burung kembali ke sarang seraya bertasbih kepada-Nya lewat sayap yang mengepak. Sebagian penduduk bumi dengan predikat sempurna pun ikut menghentikan aktivitas sejenak. Bertasbih? Sebagian bertasbih kepada-Nya sepenuh hati yang khusyu’. Sebagian lagi justru tengah mengingkari dan berusaha membuat yang lain ingkar kepada-Nya.

Aia duduk termenung di ruang tengah usai membaca al-Matsurat. Merenungi kata-kata Zia pagi tadi. “Dunia ini fana, Ai. Semua yang kita miliki. Orang-orang terdekat. Semua akan pergi. Menghilang. Meninggalkan kita. Kalau kamu menjadikan mereka sebagai cahaya hidup. Maka kamu akan selalu kehilangan. Tapi ... ada satu cahaya di dunia ini yang tidak akan pernah redup.

Allahu nuurus samaawaati wa al-ardh. Allah pemberi cahaya pada langit dan bumi. Cahaya Allah itu seperti sebuah lubang yang tidak tembus. Di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca. Dan kaca itu seakan-akan bintang yang bercahaya seperti mutiara. Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, Zaitun. Yang bahkan, minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tidak disentuh api. Nuurun ‘alaa nuur. Cahaya di atas cahaya.

Begitu kata Allah di surah an-Nur ayat tiga puluh lima. Cukuplah Allah yang menjadi cahaya hidup kita. Keluarga, sahabat atau apapun itu. Mereka bintang, yang ketika salah satunya menghilang, kita tidak sepenuhnya merasa kehilangan. Karena cahaya hidup yang sesungguhnya tetap menerangi.”

“Tapi Kak, ridho Allah ridho orang tua, kan? Bagaimana Aia akan mendapat ridho Allah kalau Bunda tidak meridhoi Aia?”

“Lalu, apa Allah akan ridho kalau Aia mendapat ridho Bunda dengan melalaikan kewajiban sebagai muslim?” Zia bertanya balik.

Skakmat! Aia tertunduk. Ia tidak pernah berpikir seperti itu. Selama ini, ia hanya berpikir bahwa menjadi anak yang baik untuk Bunda adalah dengan menuruti semua perintah Bunda. Tentang bagaimana caranya agar tidak kehilangan Bunda.

Zia berusaha menangkap wajah tertunduk itu lalu tersenyum, “Sa’ad bin Abi Waqqash.”

“Hm?” Aia menoleh. Siapa nama yang Zia sebutkan barusan?

“Sa’ad bin Abi Waqqash. Salah satu sahabat nabi yang ibunya tidak rela kalau dia masuk Islam. Ibunya bahkan mogok makan agar Sa’ad kembali ke agama nenek moyang mereka. Tapi, itu tidak lantas membuat Sa’ad goyah. Ia tetap memegang teguh agamanya. Di saat yang bersamaan ia juga tetap membujuk sang Ibu dengan lemah lembut agar menghentikan aksinya. Setelah itu turunlah wahyu, surah Luqman ayat 14 dan 15.

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu turuti keduanya, dan bergaullah dengan keduanya didunia dengan baik .... Taat pada Allah dan berbuat baik terhadap orang tua bukan kewajiban yang bisa kita pilih, Ai. Tapi harus dilakukan bersamaan.”

Aia menghela napas. Membenamkan tubuhnya di sofa. Kalimat Zia, membuat Aia berpikir keras akan keputusan yang telah ia buat. Apa yang sebenarnya ia cari? Ridho Allah? Atau hanya karena takut kehilangan Bunda?

Hari ini benar-benar melelahkan. Hatinya juga lelah. Tidak tenang sejak tahu Bunda pergi pagi tadi. Dan semakin gelisah begitu melihat Bunda pulang. Apa yang Bunda lakukan seharian bersama Tante Nur? Aia membatin.

“De,” tegur Adam yang muncul dari kamar dan membanting diri ke sofa. Duduk merebah santai di sebelah Aia.

“Hm,” sahut Aia malas tanpa merasa perlu menoleh. Lebih suka melihat lembaran-lembaran buku saku al-Matsurat ketimbang Adam.

“Kemarin Zia menemui Abang di kampus, lho,” aku Adam.

Mendengar kalimatnya membuat Aia menegakkan tubuh dan menoleh cepat. Sedikit tidak percaya. Kak Zia menemui Abang? Masa? Untuk apa?

“Serius …,” Adam membaca pikiran Aia dengan baik rupanya. “Jangan buat orang khawatir gitu dong, De. Kalau pun memang nggak mau ikut kajian lagi, bukan berarti silaturahmi juga putus, kan?”

Aia menghela napas, sedikit menyesal. “Bukan mau memutus silaturahmi, Bang. Ya … Aia malu saja dengan Kak Zia dan teman-teman karena keputusan yang Aia pilih,” sahutnya kemudian mengerling, kenapa Kak Zia tidak cerita kalau menemui Abang? Pikir Aia.

Adam hanya mengangkat alis tanpa berkomentar lagi.

Aia kembali menenggelamkan bahu di sofa seraya memeluk bantal. Baru ingat kalau tadi pagi, usai drama penuh air mata, Zia justru cerita bahwa Adam yang pernah menemuinya.

“Abang menemui Kakak? Kapan? Ngapain?”

Zia mengangguk, “Waktu surat panggilan kedua dari sekolah itu. Kak Adam minta Kakak untuk menguatkanmu.”

Mendengar hal itu, Aia tersadar. Ternyata ia tidak sendiri. Masih ada Adam yang peduli. Sekarang senyumnya semakin mengembang begitu tahu bukan hanya Adam, tapi Zia pun peduli.

“Tapi, Aia sudah bertemu Kak Zia, kok,” aku Aia pelan. Tidak ingin Bunda yang sedang di kamar mendengar.

“Oh, ya? Kapan? Di mana?” Adam membalikkan tubuh menghadap Aia. Wajahnya berubah antusias. “Terus Zia cerita nggak, soal dia menemui Abang?”

Aia mengerutkan dahi. Antusiasme Adam mencurigakan. “Apa sih, Abang?! Orang Aia ke rumah Kak Zia buat minta maaf, curhat sekaligus cari solusi!” jelas Aia dengan suara tertahan. Khawatir Bunda yang tengah di kamar mendengar.

Adam membalikkan tubuhnya ke posisi semula. Memeluk bantal sofa. Menatap langit-langit. Entah apa yang dilihat, namun senyum mengembang di wajahnya, “Hm ... memang harusnya Dede punya kakak seperti Zia ya De, ya?”

“Iya! Kenapa Aia harus punya kakak seperti Abang, ya?!” sungut Aia.

“Yee, bukan itu maksudnya!” sergah Adam. “Dede harus tetap bersyukur dong punya kakak seganteng Abang ini. Masa Dede nggak mengerti ... ?” gumamnya lalu mengangkat-angkat alis ke arah Aia. Kode.

”Mengerti apa?” Aia mengernyit. Menduga-duga apa yang Adam maksud. Sementara Adam masih cengengesan. Siapa pun akan menaruh curiga jika melihat wajahnya sekarang. “Bang?!” Aia refleks menegakkan posisi duduknya. Terperanjat begitu berhasil menangkap maksud sang kakak. “Abang ... ?”

Adam diam. Namun, jelas sekali diamnya justru membenarkan kecurigaan Aia.

“Tahu diri kali, Bang!”

“Kenapa?!” Adam protes dengan suara yang refleks meninggi.

“Dengarkan nasihat Aia ya, Bang,” ucap Aia sok tua. Menatap penuh Adam layaknya orang tua yang hendak menasihati anaknya. “Perempuan baik itu untuk laki-laki yang baik.”

“Memang Abang nggak baik?!” tanya Adam.

“Memang orang yang punya riwayat pernah masuk kantor polisi, masih bisa dibilang baik?” Aia bertanya balik.

“Halah! Itu kan SMA. Masa lalu,” Adam mengibaskan tangan.

“Masa lalu itu mempengaruhi masa depan seseorang, Bang,” sahut Aia bijak. Bahkan sendirinya saja heran tiba-tiba mengeluarkan kalimat itu.

“Lagian, itu kan gara-gara cewek sialan yang kasih tahu polisi tempat sembunyi Abang!” Adam berargumen. Membela diri.

“Tetap saja Abang salah karena ikut tawuran!” dengan mudah Aia patahkan argumen Adam. Aia mengerling, teringat sesuatu. Apa Abang tidak ingat siapa Kak Zia? Padahal ....

***

Waktu berputar mundur beberapa jam. Kembali ke pagi tadi saat Aia di rumah Zia. Setelah berhasil menenangkan diri, Aia melihat-lihat sebuah bingkai foto bersama sederet siswa SMA yang menggantung di dinding kamar. Mengernyit. “Lho, Kak Zia alumni SMA Tri Arga?”

Zia mengangguk seraya menghampiri Aia. Ikut memandangi foto penuh kenangan itu.

“Abang juga! Atau jangan-jangan Kak Zia sudah kenal Abang sebelumnya?”

“Iya, Abangmu kakak kelas Kakak. Lagian, siapa sih yang nggak kenal Kak Adam,” sahut Zia. Menoleh Aia sejenak. Sejurus kemudian kembali menatap foto. “Abangmu itu populer, Ai.”

“Populer buat masalah?” desis Aia, “rekor terakhir, masuk kantor polisi karena ikut tawuran.”

Zia tersenyum tipis. Menimbang sejenak sebelum akhirnya berkata, “Itu Kakak penyebabnya.”

Aia tercenung untuk beberapa detik kemudian menatap Aia penuh tanya, apa Kak Zia bilang? Penyebab? Apa maksudnya?

“Iya. Abangmu harusnya bisa lolos dari kejaran polisi. Tapi, Kakak malah memberitahukan tempat persembunyiannya ke polisi. Padahal, Kakak sudah diancam agar tidak memberitahukannya,” Zia menjawab semua pertanyaan Aia. “Siapa sangka, ternyata itu Abangmu,” desisnya terbayang saat pertama kali tahu kalau Adam adalah kakak dari Aia.

Aia tercengang mendengar pengakuan itu. Ia paksa otaknya memutar memori beberapa tahun lalu. Adam. Tawuran. Polisi. Bunda. Ah, ya! Aia ingat sekarang. Adam pernah bilang bahwa ada anak kelas satu yang melaporkannya ke polisi. Jadi, itu Kak Zia?!

“Kok bisa, sih?” gumam Aia masih tidak percaya.

“Setelah itu, Kakak nggak berani muncul di depan Kak Adam. Soalnya, teman-teman bilang dia marah besar dan mau buat perhitungan sama Kakak,” cerita Zia. Ia ingat betul bagaimana teman-teman bahkan kakak kelas selalu mengingatkan untuk hati-hati. Membuat ia yang awalnya biasa saja, akhirnya takut juga. “Untungnya, waktu itu Abangmu sudah kelas tiga. Jadi, setelah dia lulus kita sudah nggak ada peluang bertemu lagi di sekolah.”

Ah, ini benar-benar gila! Sungguh, Aia masih tidak percaya! Sampai-sampai tidak tahu harus bicara apa. Tapi, mana mungkin Zia berbohong.

“Dan karena kejadian itu, Kakak merasa bersalah,” ini yang sejak dulu ingin Zia akui.

“Merasa bersalah? Sama Abang?” Aia keheranan, untuk apa merasa bersalah?

“Bukan,” sergah Zia. Ia sama sekali tidak merasa bahwa melaporkan siswa yang tawuran adalah perbuatan yang harus disesali. Bahkan sudah seharusnya dilakukan, agar mereka jera. “Tapi Bundamu,” lanjutnya.

“Bunda?” Aia semakin heran. Apa hubungannya dengan Bunda?

“Satu sekolahan tahu kalau Bundamu sering bolak-balik ke sekolah karena Kak Adam buat ulah. Dan hari itu, Kakak sudah membuat Bunda harus menjemput anaknya di kantor polisi. Itu pasti menambah beban atau bahkan menyakiti hati Bunda, ya, kan?”

Abang memang benar-benar keterlaluan! Aia menghela napas. Hati Bunda tersakiti? Sepertinya ya. Sudah terlalu panjang daftar masalah yang Abang buat selama masa sekolah.

Tapi, jujur kadang Aia tidak ingin sepenuhnya menyalahkan sang Kakak. Karena seingatnya itu semua terjadi setelah perpisahan Ayah dan Bunda. Setelah ia dan Adam tidak lagi mendapat perhatian dan kasih sayang sepenuhnya dari mereka. Tidakkah ia dan Adam hanya korban dari perceraian orang tua?

***

Waktu kembali berjalan normal. Aia tersentak oleh satu pertanyaan yang terbersit di benak. Yaitu, “Terus, kalau Abang ketemu sama cewek itu lagi gimana? Abang mau ngapain?”

“Abang mau buat perhitungan lah sama dia!”

“Astaghfirullah!” Aia melempari Adam dengan bantal. Sebal. Adam refleks menghindar. “Awas masih berani suka sama Kak Zia! Aia nggak rela Kak Zia disukai sama orang pendendam kayak Abang!” ancamnya sungguh-sungguh.

“E, ehm,” Bunda tiba-tiba muncul melintasi ruang tengah menuju dapur.

Membuat Adam urung membalas kalimat adiknya. Keheningan kaku menyambangi ruang tengah. Aia menatap punggung Bunda yang sejak pulang sore tadi belum menyapa. Bahkan Bunda sama sekali tidak menoleh padahal kedua anaknya tengah duduk di sana. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Bagaimana caranya agar Bunda berhenti memercayai Tante Nur?

***      

30 Januari 2013

Aia melangkah gontai begitu turun dari bus. Capek, karena harus berdiri dari awal naik hingga turun. Juga malas, mengingat Pak Kepala Sekolah pasti sudah menunggu di depan gerbang. Hampir satu bulan sudah hukuman lari keliling lapangan itu berlaku. Pak Kepala Sekolah benar-benar konsisten. Tidak ada satu hari pun yang terlewat, kecuali dengan hukuman sebelum masuk kelas.

Di depan, terlihat Raras dan Azki sudah tiba lebih dulu. Namun, keduanya belum memulai hukuman. Hanya berdiri mematung di sebelah pos security. Mungkin sengaja menunggu Aia. Karena sudah dua minggu ini Aia (sengaja) tidak menjalani hukuman bersama mereka.

Aia diam di tempat-memandangi punggung kedua sahabatnya. Ia sudah pikirkan masak-masak semalam. Tersadar betapa naifnya ia dengan keputusannya selama ini. Berharap Bunda akan mendengarkannya? Nyatanya, hingga saat ini Bunda tetap percaya pada Nur dan semua pemikiran liberalnya. Bukan menjaga jarak, justru kian terlibat jauh dalam kesetaraan gender.

Jika begini jadinya, maka tidak ada alasan lagi baginya untuk tetap mempertahankan keputusan bodoh itu. Jika Bunda tetap pada pendiriannya. Ia pun akan tetap pada pendiriannya dan mencari jalan lain untuk memperlihatkan kekeliruan Nur pada Bunda.

Aia sudah belajar sekarang. Jika hidup adalah pilihan, maka sesungguhnya hidup adalah tentang keputusan. Apapun keputusan yang kalian pilih. Percayalah, tidak ada keputusan melainkan dengan konsekuensi. Yang tidak boleh terlupa adalah untuk selalu menyertai keputusan dengan ketaatan pada-Nya. Sebab, kelak Dia akan memintai pertanggungjawaban atas keputusan yang kita buat.

Dan inilah keputusan yang Aia buat. Pertama, Aia akan kembali mengkaji Islam dan mempertahankan jilbabnya. Kedua, tidak akan lagi menghindar dari Raras dan Azki. Dan ketiga, ia akan mencari cara untuk memperlihatkan kekeliruan Nur pada Bunda. Bismillah ....

“Assalamu’alaikum,” sapa Aia sedikit kikuk.

“Wa’alaikumsalam,” Raras dan Azki kompak menjawab dengan sedikit terperangah. Suara itu. Suara itu akhirnya kembali menyapa! Keduanya menoleh.

Aia tersenyum kikuk sambil memandangi keduanya secara bergantian.

“Ai?!” seru keduanya dengan wajah girang.

Aia tersenyum lega sekarang, “Kemarin-kemarin, maaf, ya.”

Raras tersenyum tulus. Merangkul Aia. “Ya sudah, sekarang kita ke kelas, yuk,” ajak Raras. Masalah ini sebaiknya dibicarakan di kelas.

“Lho, hukumannya?” tanya Aia.

“Pak Kepala Sekolah nggak ada. Jadi, kata Pak Edi kita boleh langsung masuk,” sahut Azki sumringah.

Aia masih melongo. “Benar, Pak Edi?” tanyanya pada Pak Edi yang masih asyik minum kopi tubruk di posnya.

“Iya! Pak Kepala Sekolah bosan menghukum kalian. Nggak kapok-kapok soalnya!” seloroh Pak Edi lalu tertawa sambil geleng kepala. Mengacungkan jempol. Salut dengan kegigihan tiga siswi di hadapnya mempertahankan jilbab.

Aia menghela napas lega. Amat lega. Senyumnya mengembang. Benarkah begitu? Jika benar, mungkinkah ini jawaban atas kesabaran menghadapi Kepala Sekolah? Apapun itu, Aia selalu percaya bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar.


***
Sebelumnya
Namun, aksi jaga jarak itu tetap terjadi. Bukan Raras dan Azki. Melainkan Aia yang melakukannya. Di kelas menyendiri. Bahkan meminta tukar tempat duduk dengan seorang teman yang duduk di pojok kelas. Memilih ke kantin bersama Feby, Rindy dan Lita. Berusaha keras menghindari Raras dan Azki. Tidak peduli jika keduanya juga berusaha keras untuk mendekati. Dan tetap begitu hingga satu minggu berlalu.

Seperti hari ini. Aia urung ke kantin dan malah belok ke perpustakaan lantaran melihat Raras dan Azki berjalan ke arahnya. Mereka baru saja dari kantin dan hendak kembali ke kelas. Melihat Aia lagi-lagi berusaha menghindar, mereka membuntuti.

“Ai, kenapa, sih?!” Raras mencegat Aia di depan perpustakaan.

Beberapa siswa yang lalu lalang menoleh penasaran. Kabar Aia yang mulai jaga jarak dari Raras dan Azki memang sudah heboh sejak awal. Tiga siswi yang selama ini kompak, tiba-tiba berselisih. Ada apa?

“Kenapa?” Aia malah bertanya balik. Pura-pura tidak mengerti.

“Kamu yang kenapa?! Di sekolah menghindar. Ditelepon. Di-SMS. Nggak ada jawaban! Kemarin, telepon Kak Zia juga nggak kamu angkat, kan?!” hardik Azki. Gemas.

Aia mengerling. Ia juga sengaja menghindar dari Zia.

Raras berusaha menahan Azki. Di situasi seperti ini akan lebih baik jika ia yang bicara. Aia dan Azki sama saja. Sama-sama sulit menjaga emosi. Raras merangkul Aia. Mengajaknya duduk di bangku kayu panjang depan ruang perpustakaan. Aia menurut. Azki membuntuti kemudian ikut duduk di sebelah Aia.

“Ada masalah apa, Ai? Jangan buat kita semua bingung. Tiba-tiba kamu menghindar. Atau Aku dan Azki ada salah?” tanya Raras. “Kak Zia juga khawatir banget lho waktu kemarin kamu nggak jawab teleponnya.”

Aia diam. Kenapa?! Bukankah ia sudah katakan tentang janjinya pada Bunda?! Bagaimana bisa  menepati kalau tetap dekat. Lebih dari itu, apa mereka tidak mengerti kalau Aia sungguh malu! Bahkan terlalu malu untuk sekedar bertemu. Malu karena punya Bunda yang mendukung kesetaraan gender. Malu dengan keputusannya untuk berhenti kajian.

“Ai, kenapa?” Raras terus mendesak Aia agar bicara.

Yang dipaksa bicara malah menggeleng. Semakin Raras dan Azki peduli, semakin malu rasanya. Dan menghindar adalah cara terbaik yang bisa dilakukan, “Maaf. Aku ke kelas duluan, ya.”

Dengan cepat Aia meninggalkan Raras dan Azki yang hanya bisa melongo melihat tingkah Aia. Sejak memutuskan untuk berhenti kajian, Aia benar-benar menjaga jarak dengannya, Azki bahkan Zia. Menurutnya, Aia tidak perlu menjauh meski memutuskan berhenti kajian. Bukankah ia bilang ini hanya sementara?

***

Sambil bersenandung ria Mang Jo menghentikan gerobak oranye-nya. Lalu dengan cepat mengeksekusi bak sampah di depan rumah. Senandungnya terhenti begitu melihat Aia yang baru pulang sekolah. “Eh … geulis, baru pulang?!” sapanya.

Aia menoleh. Tersenyum tipis.

Kunaon Neng Aia teh? Meuni teu semangat pisan dari kemarin, gumam Mang Jo dalam hati. Bingung sendiri. Sudah seminggu ini melihat Aia seperti itu. Layaknya orang yang kehilangan semangat.

“Kunaon Neng? Habis diputusin yah, sama pacarnya?”

“Ih, apaan sih, Mang Jo! Enak aja! Aia nggak pacaran,” Aia tidak terima namun tidak punya energi untuk sekadar membantah. “Aia masuk ya, Mang.”

Aia melanjutkan langkah gontainya. Semangat itu benar-benar hilang rasanya! Ah, tunggu! Agaknya semangat itu perlahan kembali begitu melihat camry hitam sudah terparkir di depan rumah. Bunda ada di rumah!

“Assalamu’alaikum,” Aia mengucap salam pada Bunda yang sedang duduk di ruang tengah dengan lembaran-lembaran kertas di meja. Percuma saja pulang cepat kalau Bunda tetap dengan pekerjaannya, gumam hati Aia.

“Wa’alaikumsalam. Sudah pulang?” sahut Bunda. Menoleh untuk sesaat kemudian kembali fokus pada kertas-kertas itu. Seminggu ini Bunda sedikit lega karena Aia bisa menepati janjinya. Walaupun ada satu yang belum. Jilbab. Aia masih saja mengenakan pakaian itu. Baik. Untuk sekarang Bunda masih menolerir hal itu. Kecuali, jika satu lagi surat panggilan datang karena pakaian itu. Barulah Bunda akan benar-benar bertindak.

Aia duduk di sebelah Bunda. Lihat, ia hanya akan dilirik saat Bunda bekerja. Terlihat sekali siapa yang lebih penting. “Ini apa sih, Bun?” Aia meraih satu bundel file. Tertarik dengan judulnya, “Juknis Pelaksanaan Program Pemberdayaan”. Sepertinya ini bukan pekerjaaan.

“Persiapan program pemberdayaannya Tante Nur. Bunda mau bantu,” jawab Bunda.

“Program pemberdayaan?” Aia menggumam. Teringat saat Bunda mengajaknya ke kantor Nur.

Tante ingin menghapus paradigma itu. Perempuan bisa kok, mandiri, nggak perlu bergantung dengan laki-laki. Caranya dengan mereka diberdayakan. Diberi peluang untuk punya penghasilan sendiri, Ai. Supaya laki-laki juga tidak memandang sebelah mata perempuan lagi. Jika terpaksa harus mengakhiri pernikahannya dengan cerai pun mereka tidak khawatir. Karena mereka punya penghasilan untuk hidupnya ke depan, Aia ingat betul apa yang Nur katakan tentang program permberdayaan yang Bunda maksud. Program Pemberdayaan Perempuan.

“Buat apa sih, Bunda ikut terlibat program ini? Bunda nggak capek? Udah harus kerja ditambah ngurusin program kayak gini,” tanya Aia. Sebenarnya protes.

“Karena Bunda juga ingin berkontribusi dalam meningkatkan taraf hidup perempuan,” Bunda akhirnya menghadapkan wajah penuh ke arah Aia. “Saat ini angka kemiskinan negara kita meningkat, Ai. Apalagi ternyata banyak juga kepala keluarga yang menganggur. Kalau perempuan juga diberdayakan, nantinya juga akan berpengaruh pada perekonomian keluarga. Karena pendapatan mereka akan menambah pemasukan. Ekonomi keluarga jadi lebih baik. Tingkat kesejahteraan juga Insya Allah akan meningkat. Agama kita mengajarkan saling tolong menolong, kan?”

Wow, program pemberdayaan perempuan itu terdengar seperti dewa penolong saja. Tapi, Aia masih terngiang kata-kata Nur, “Jika terpaksa harus mengakhiri pernikahannya dengan cerai pun mereka tidak khawatir. Karena mereka punya penghasilan untuk hidupnya ke depan.” Kalau ini tujuan akhirnya, sepertinya program pemberdayaan ini lebih tepat jika dikatakan sebagai program persiapan cerai.

Seperti kata Zia, bahwa sebenarnya ini memang skenario orang kafir, musuh-musuh Islam. Mereka sengaja mengembuskan kesetaraan gender pada muslimah. Supaya para ibu sibuk kerja. Tidak lagi mendidik anak-anak mereka yang berakibat pada hancurnya generasi muslim.

“Sudah. Ganti baju dulu, setelah itu makan,” Bunda memberi instruksi sebelum Aia mulai lagi. Bunda bisa melihat ketidaksukaan Aia melihatnya bergabung dalam program itu. Ah, anak ini memang tidak pernah suka jika sesuatu itu berkaitan dengan Nur, pikir Bunda.

“Iya,” sahut Aia malas.

Aia masih menatap Bunda yang sudah kembali sibuk mempelajari sejumlah teknis program pemberdayaan. Matanya mulai berkaca-kaca. Kalau Bunda terus seperti ini, lama-lama Bunda akan menganggap semua pemikiran Nur benar! Bagaimana jika Bunda akan benar-benar jadi seperti Nur?! Menjadi bagian dari aktivis kesetaraan gender. Apa yang harus Aia lakukan? Tidak mungkin diam saja melihat Bunda terus tenggelam dalam pemikiran yang keliru. Raras benar, bagaimana bisa memperlihatkan kekeliruan Nur jika ia berhenti mengkaji Islam?

***

Malam kian menua. Di atas hamparan sajadah, Aia menghadap-Nya. Mengadukan kekhawatirannya terhadap Bunda yang memuncak. Pertemuan dengan Nur berkelebatan di benak. Aia ingat betul ketika dengan mudahnya Nur mengatakan Rasulullah sebagai feminis pertama di dunia. Islam mendiskriminasi perempuan. Lalu seenaknya memotong hadits, mengatakan ada shahabiyah yang memprotes Islam.

Prof. DR. Nuriyah, MA : Hapus Pendidikan Agama. Nuriyah : Halalkan Homosex. Guru Besar Al-Kalam : . bla bla bla bla. Artikel-artikel yang memuat berita tentang Nur pun ikut berkelebatan.

“Bunda percaya Tante Nur bukan karena Tante Nur teman lama Bunda! Tapi karena Bunda yakin Tante Nur benar!”, tangisnya pecah mengingat kalimat Bunda. Hatinya jauh lebih sakit dibanding saat menerima kabar tentang Ayah yang akan menikah lagi. Ya Allah, bagaimana bisa Bunda membenarkan semua pemikiran yang justru menyalahi agama-Mu?! Keputusannya berhenti kajian nyatanya sama sekali tidak menjadikan keadaan lebih baik. Aia justru merasa buruk karena keputusan itu!

Yang membuatnya semakin terhenyak adalah kenyataan bahwa ia tidak tahu harus melakukan apa untuk menarik Bunda dari kondisi itu. Bahwa ia pun menyadari keadaan tidak akan berubah hanya dengan air mata. “Rabb, bukankah Engkau Maha Membolak-balikkan hati seorang hamba? Maka kumohon bukakan hati Bunda. Agar bisa melihat semua kekeliruan Tante Nur. Agar berhenti membenarkan kesalahan,” lirihnya.

***

Kumandang adzan sudah berlalu lima belas menit yang lalu. Tanda matahari kan merangkak naik menyapa penduduk bumi bagian timur. Usai subuh di mushollah, Aia kembali kamar. Membuka jendela guna menyambut cahaya pagi yang sebentar lagi menyapa. Sekaligus mempercepat sirkulasi udara. Setidaknya, kamar ini tidak boleh sesesak hidupnya. Ya ... walaupun sepagi ini tidak akan ada pemandangan yang bisa dilihat lantaran terhalang oleh cam …. Tunggu! Tidak ada?! Sepagi ini Camry hitam sudah tidak terparkir di depan?!

Aia segera keluar kamar. Hendak memastikan. Ia masih mendengar suara Bunda berbicara dengan Bi Tiah sebelum subuh tadi. Kenapa sekarang mobil Bunda sudah tidak ada?!

“Bi, mobil kok sudah nggak ada di parkiran?!” tanya Aia pada Bi Tiah yang baru saja keluar dari kamar Bunda membawa beberapa potong baju kotor.

“Karena sudah di bawa sama yang punya, Dek,” jawab Bi Tiah santai. Bukannya sudah bukan hal aneh kalau Ibu berangkat pagi-pagi buta?

“Lho, Bunda sudah berangkat kerja?” tanya Aia lagi. Ini kan Sabtu, kenapa Bunda berangkat sepagi ini?

Di seberang, terlihat Adam yang baru keluar kamar mengamati Aia dan Bi Tiah.

“Bukan kerja. Kata Ibu, Ibu mau ke tempat temannya. Ada program apa … gitu katanya, Dek,” Bi Tiah meluruskan.

“Program?” Aia tertegun. Itu pasti program Tante Nur, duga Aia. Cemas menggelayuti hati.

Melihat “ketidakberesan” di wajah Aia, Adam mendekat. “Kenapa, De?”

Aia menoleh lalu menjawab pelan, “Bunda, Bang ….

***

Sungguh, Aia tidak tahan lagi. Bisa gila jika hanya diam. Membiarkan Bunda kian tenggelam bersama Nur dan pemikirannya sama saja membiarkan cahaya hidupnya kian redup. Bukankah semua keputusan yang ia ambil sebelumnya demi menjaga cahaya itu?! Ya Allah, lalu bagaimana caranya?
Arrgh! Tidak ada tempat lain!  Aia tidak punya ide selain harus mendatangi Zia.

Maka, pagi itu Aia bergegas. Tepat pukul 08.00 WIB, Aia tiba di depan rumah Zia. Jujur, penampilannya benar-benar buruk di hari yang masih amat muda. Kerudungnya berantakan, sebelum berangkat Aia cuma memastikan rambut juga lehernya tidak tersingkap. Wajahnya kuyu dan sembab karena air mata berkali-kali membasahi pipi meski sudah berusaha keras menahannya. “A, assalamu’alaikum …,” suara Aia parau.

“Assalamu’alaikum …,” ucapnya sekali lagi.

Di dalam rumah, zia yang kebetulan sedang melintasi ruang tamu, mengerutkan dahi. Sayup-sayup mendengar ucapan salam dari luar, siapa pula sepagi ini datang bertamu? Selang beberapa menit kemudian terdengar suara itu lagi.

Sementara di luar, Aia yang masih menunggu sudah hampir putus asa. Hanya bisa menelan ludah lantaran salamnya tak kunjung menerima jawaban. Ah, bodoh! Siapa juga yang mau menerima tamu sepagi ini?! Jangan-jangan Kak Zia marah gara-gara aku tidak kajian lagi. Makanya sekarang tidak mau membukakan pintu untukku.

“Astaghfirullahal’adzhiim,” gumamnya begitu tersadar sudah berprasangka buruk. Namun, hatinya tetap memutuskan untuk pulang. Bukan hendak menuruti prasangka. Melainkan malu mengganggu Zia sepagi ini.

“Wa’alalaikumsalam,” jawaban dari balik pintu membuat Aia yang sudah siap meninggalkan rumah Zia, kembali membalikkan badan. Menghela napas lega begitu berhasil mengenali suara dari balik pintu.

“Aia! Kenapa?!” seru Zia begitu melihat siapa yang datang. Terlihat sekali kalau Aia sedang tidak baik-baik saja saat ini.

***

Lengang. Kamar bercat toska itu senyap usai Aia menumpahkan semua kekhawatirannya. Hanya isak yang sesekali terdengar.

“Aia ngerasa, hidup Aia gelap. Semua cahaya hidup Aia redup!” keluh Aia di tengah sedu sedan.
“Dulu, Aia pikir Ayah dan Bunda cahaya hidup Aia. Tapi, cahaya itu redup setelah mereka berpisah. Setelah itu, Aia pikir Feby, Rindy, Lita cahaya hidup Aia yang baru. Kenyataannya mereka selalu memanfaatkan Aia untuk mengerjakan semua tugas. Aia cuma jadi tempat nyontek buat mereka,” lanjutnya. Di benak berkelebatan memori bersama cahayanya. Aia sungguh pernah menganggap mereka sebagai cahaya hidup.

Zia masih setia mendengarkan. Bukankah di saat seperti ini kita pun ingin didengar? Sementara di luar, Umi yang meski tidak ingin mencampuri urusan Aia, mengerutkan dahi juga. Anak itu, seberapa besar masalah yang dihadapi? Tanya hati Umi. Wajah Aia, entah kenapa terasa tidak asing baginya.

Aia menyeka air mata, menatap kosong ke depan, “Bahkan ketika Aia pikir rohis adalah cahaya hidup Aia yang tepat, Aia masih kehilangan,” desisnya. Tersenyum kecut mengingat saat-saat menghadap kepala sekolah demi rohis dan jilbab. “Sekarang, Aia cuma punya Bunda. Aia takut kehilangan Bunda ….

Bunda sudah terlibat program pemberdayaan perempuan bersama Tante Nur, Kak. Aia takut. Kalau sekarang Bunda menerima kesetaraan gender, bagaimana kalau besok Bunda membenarkan semua pemikiran liberal Tante Nur?! Aia nggak mau itu terjadi!  Tapi. Tapi Aia juga nggak tahu harus bagaimana?! Bunda tidak akan mendengarkan Aia, Kak! Di mata Bunda, Aia selalu salah! Menurut Bunda, justru pemahaman Aia yang membuatnya khawatir.

Aia pikir, dengan berhenti kajian seperti yang Bunda mau. Bunda juga akan mau mendengarkan Aia. Tapi, ternyata Bunda. Bunda tetap …,” Aia tidak sanggup melanjutkan. Tenggorokannya tercekat saat tiba-tiba kalimat Bunda kembali terngiang, “Bunda percaya Tante Nur bukan karena Tante Nur teman lama Bunda! Tapi karena Bunda yakin Tante Nur benar!”.

Tangis itu kembali pecah. Ditelungkupkannya kedua tangan di wajah. Zia refleks merangkul Aia. Membiarkannya melepas seluruh perasaan. Menepuk-nepuk pelan bahunya. Berusaha menenangkan sambil terus berpikir, apa yang bisa ia lakukan untuk membantu Aia.

Aia berusaha keras menenangkan diri. Memaksa air mata dan isaknya berhenti. Malu rasanya sepagi ini bertamu hanya untuk menangis. Keluarga Zia pasti sangat terganggu dengan kedatangannya.

Tapi, sungguh Aia merasa lebih baik sekarang. Tentu saja. Bukankah sangat nyaman saat masalah menyinggahi hidup, ada orang yang mau mendengar dan menenangkan? Singgah. Ya, masalah itu hanya singgah. Datang untuk kemudian pergi. Dan semoga, pemikiran keliru Nur juga hanya menyinggahi Bunda. Hingga ada saatnya Bunda melihat semua kekeliruan itu.


***
Selanjutnya
Sebelumnya